Ketika Anak Jadi Rebutan Hak Asuh Bukan Sekadar Menang di Pengadilan
Perceraian adalah jalan terakhir yang seringkali menyisakan luka panjang, bukan hanya bagi pasangan, tapi juga bagi anak-anak mereka. Di tengah proses yang melelahkan secara emosional dan hukum, hak asuh anak menjadi salah satu titik konflik paling sensitif. Sayangnya, dalam banyak kasus, anak justru dijadikan “alat” untuk saling menyakiti atau memenangkan ego.
Hukum Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, mengatur bahwa hak asuh anak di bawah usia 12 tahun umumnya berada pada ibu. Namun kenyataan di lapangan tak sesederhana itu. Banyak faktor yang dipertimbangkan: ekonomi, psikologi anak, serta kemampuan moral dan emosional orang tua..Jumat 18-4-2025
Tapi apa pun bunyi putusannya, yang paling utama seharusnya adalah kepentingan terbaik bagi anak (best interest of the child). Sayangnya, semangat ini kerap tertutup oleh konflik pribadi orang tua. Akibatnya, anak menjadi korban—terombang-ambing secara emosi, tumbuh dalam ketidakpastian, bahkan mengalami trauma jangka panjang.
Mahasiswa hukum perlu mendorong pendekatan yang lebih humanis dan solutif. Pendampingan psikologis, mediasi keluarga, dan pendekatan non-litigasi harus diperkuat. Karena hak asuh bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang bisa memberi rasa aman, kasih sayang, dan stabilitas untuk masa depan anak.
Keadilan tidak hanya harus berpihak pada yang benar, tapi juga pada mereka yang paling rentan: anak-anak.
Penulis : [ FAHRURROZI]
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas [Unpam serang]
Reporter (A/Red)